• Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Siber
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
  • Kontak Kami
Blog Informasi Terkini Cianjur.Co
  • CIANJUR.CO
  • HOME
  • Berita
  • Travel
  • Kuliner
  • Sosok
No Result
View All Result
  • CIANJUR.CO
  • HOME
  • Berita
  • Travel
  • Kuliner
  • Sosok
No Result
View All Result
Blog Informasi Terkini Cianjur.Co
No Result
View All Result
Home Budaya

Sunda Wiwitan Sudah Lama Ada Sebelum Masuknya Hindu-Buddha di Nusantara

cianjurblog by cianjurblog
October 22, 2025
in Budaya, Sejarah
0
peninggalan peradaban tua di gunung padang cianjur

peninggalan peradaban tua di Situs Gunung Padang Cianjur. (Foto:cianjur.co/ifan)

0
SHARES
16
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

CIANJUR.CO – Sebelum agama tua seperti Hindu dan Buddha masuk di wilayah kepulauan Nusantara, masyarakat kuno sudah memiliki sistem kepercayaan lokal yang kuat dan terstruktur. Salah satu yang paling menonjol di antara kepercayaan-kepercayaan tersebut adalah Sunda Wiwitan, yang berarti “Ajaran Sunda Asli” atau “Ajaran Asal”.

Kata wiwitan berasal dari bahasa Sunda yang berarti asal mula atau permulaan. Jadi, Sunda Wiwitan dapat dimaknai sebagai ajaran yang telah ada sejak awal mula peradaban Sunda, jauh sebelum berbagai pengaruh budaya dan agama luar datang ke Nusantara.

Sunda Wiwitan bukan hanya sekadar sistem kepercayaan, tetapi juga sebuah pandangan hidup (way of life) yang menekankan keseimbangan antara manusia, alam, dan Sang Hyang Kersa – Tuhan Yang Maha Esa dalam terminologi Sunda kuno. Kepercayaan ini mengajarkan bahwa manusia hidup bukan untuk mendominasi alam, melainkan untuk menjaga harmoni agar dunia tetap seimbang.

Kepercayaan Sunda Wiwitan Sebelum Hindu-Buddha

Berbagai sumber sejarah dan penelitian antropologis menunjukkan bahwa masyarakat Sunda sudah mengenal sistem spiritual yang kompleks jauh sebelum masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha berdiri.

Jejak arkeologis seperti menhir, dolmen, punden berundak, dan situs-situs pemujaan di wilayah Jawa Barat dan Banten menjadi bukti nyata bahwa praktik spiritual masyarakat Sunda sudah mapan sejak ribuan tahun lalu. Situs-situs seperti Situs Gunung Padang Cianjur, Situs Pangguyangan Sukabumi, Situs Purbakala Cipari, Situs Tugu Gede Sukabumi, Situs Batu Kujang (Situs Megalitik Tenjolaya Girang) Sukabumi, serta Situs Kabuyutan Ciburuy Garut, memperlihatkan adanya bentuk kepercayaan terhadap kekuatan alam dan roh nenek moyang yang menjadi ciri khas animisme dan dinamisme.

Di masa itu, masyarakat Sunda meyakini bahwa seluruh alam semesta memiliki jiwa dan roh yang saling berhubungan. Gunung dianggap tempat bersemayamnya para dewa dan leluhur, air sebagai sumber kehidupan yang harus dijaga kesuciannya, serta bumi sebagai ibu yang memberi rezeki. Inilah cerminan dari sistem spiritual Sunda Wiwitan yang menekankan hubungan harmonis antara manusia dan alam.

Baca juga: Gunung Padang Situs Megalitik Berpotensi Menggeser Paradigma Sejarah

Sunda Wiwitan dan Konsep Ketuhanan

Salah satu hal yang menarik dari Sunda Wiwitan adalah konsep ketuhanannya yang monoteistik, meskipun berkembang dari masyarakat yang dianggap animistik. Dalam ajaran Sunda Wiwitan, terdapat kepercayaan terhadap Sang Hyang Kersa atau Gusti Sikang Sawiji-wiji, yang berarti “Tuhan Yang Maha Esa, Sumber Segala Sesuatu”.

Sang Hyang Kersa dipandang sebagai pencipta segala makhluk, pengatur alam semesta, dan sumber kehidupan. Di bawah-Nya terdapat entitas spiritual lain seperti Batara Tunggal, Batara Seda Niskala, dan Batara Guru, yang bertugas menjaga keseimbangan kosmos. Namun, para batara ini bukanlah Tuhan, melainkan makhluk ciptaan yang membantu menjalankan kehendak Sang Hyang Kersa.

Konsep ini menunjukkan bahwa masyarakat Sunda sudah mengenal struktur kepercayaan yang berlapis dan mendalam sebelum menerima pengaruh Hindu maupun Buddha. Bahkan, ketika agama-agama tersebut mulai masuk ke Tanah Sunda, unsur-unsur Sunda Wiwitan tetap bertahan dan menyatu dalam tradisi masyarakat tanpa kehilangan jati dirinya.

Hubungan Sunda Wiwitan dengan Animisme dan Dinamisme

Istilah animisme pertama kali diperkenalkan oleh Sir Edward Burnett Tylor, seorang antropolog asal Inggris, dalam karya monumentalnya berjudul Primitive Culture (1871). Tylor mendefinisikan animisme sebagai keyakinan bahwa setiap unsur alam memiliki roh atau jiwa yang dapat memengaruhi kehidupan manusia. Menurutnya, kepercayaan ini merupakan bentuk paling awal dari sistem keagamaan manusia di berbagai belahan dunia.

Dalam konteks Sunda Wiwitan, pandangan ini tercermin dari penghormatan masyarakat Sunda terhadap alam dan leluhur, di mana setiap elemen alam dianggap memiliki kekuatan spiritual yang harus dijaga keseimbangannya.

Animisme berpendapat bahwa setiap makhluk hidup dan benda di alam memiliki roh. Sementara dinamisme menekankan bahwa benda-benda tertentu memiliki kekuatan gaib atau energi spiritual (mana). Dalam Sunda Wiwitan, kedua pandangan ini hidup berdampingan. Masyarakat Sunda menghormati roh leluhur (karuhun) dan juga meyakini adanya kekuatan spiritual pada benda-benda tertentu seperti batu, air, atau pohon besar.

Sebagai contoh, hingga kini masih banyak masyarakat adat Sunda seperti Kasepuhan Gelaralam (Ciptagelar) atau Kampung Naga yang menjalankan ritual penghormatan terhadap alam, seperti upacara Seren Taun, Ngaseuk (menanam padi pertama), dan Nganyaran (panen perdana). Semua ritual tersebut berakar dari keyakinan Sunda Wiwitan bahwa alam harus dijaga dan dihormati, karena di dalamnya terdapat kekuatan hidup yang diberikan Sang Hyang Kersa.

Selain animisme, muncul pula teori dinamisme, yang memperluas pemahaman tentang kekuatan supranatural di alam semesta. Konsep ini banyak dikembangkan oleh para orientalis pada awal abad ke-20 seperti R.R. Marett dan Marcel Mauss. Mereka berpendapat bahwa dalam dinamisme, benda-benda tertentu dipercaya memiliki daya gaib atau kekuatan spiritual yang berasal dari dirinya sendiri, bukan semata-mata karena dihuni roh atau makhluk halus.

Dalam kepercayaan masyarakat Sunda kuno, unsur dinamisme ini tercermin dalam keyakinan terhadap benda pusaka seperti keris, batu akik, atau tempat-tempat sakral seperti gunung dan mata air yang dianggap memiliki “daya” atau energi spiritual yang bisa membawa keberkahan maupun malapetaka, tergantung pada cara manusia memperlakukannya.

Baca juga: Asal-Usul Istilah Sunda Besar dan Sunda Kecil Dalam Peta Sejarah Internasional

Sunda Wiwitan di Masa Kerajaan Hindu-Buddha

Ketika pengaruh Hindu dan Buddha mulai masuk ke Nusantara sekitar abad ke-4 Masehi, Sunda Wiwitan tidak serta-merta hilang. Sebaliknya, terjadi proses sinkretisme atau perpaduan antara kepercayaan asli dengan ajaran baru.

Misalnya, dalam Kerajaan Tarumanegara dan Pajajaran, konsep dewa dalam Hindu diserap dan disesuaikan dengan pandangan Sunda Wiwitan. Batara Guru, misalnya, sering dianggap sebagai bentuk lain dari Dewa Siwa, meskipun dalam konteks lokal Sunda, Batara Guru lebih dipandang sebagai penjaga keseimbangan dunia.

Raja-raja Sunda seperti Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja) juga digambarkan sebagai sosok yang bijaksana, mencintai rakyat dan alam, serta menjalankan kehidupan spiritual yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai Sunda Wiwitan tetap hidup meskipun kerajaan-kerajaan tersebut sudah mengenal sistem keagamaan Hindu-Buddha.

Nilai-Nilai Luhur dalam Ajaran Sunda Wiwitan

Sunda Wiwitan tidak hanya mengatur tentang hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga menuntun cara hidup sehari-hari. Beberapa nilai luhur yang menjadi dasar ajaran ini antara lain:

  1. Silih Asih – Mengasihi sesama manusia dan makhluk hidup lain.
  2. Silih Asah – Saling menasihati dan menumbuhkan pengetahuan.
  3. Silih Asuh – Saling menjaga dan melindungi agar hidup damai.

Ketiga prinsip ini menggambarkan filosofi kehidupan masyarakat Sunda yang menekankan gotong royong, harmoni sosial, dan kebijaksanaan dalam bertindak. Nilai-nilai tersebut masih terpelihara hingga kini dalam adat istiadat masyarakat Sunda di berbagai daerah.

Selain itu, Sunda Wiwitan juga mengenal konsep Tri Tangtu di Buana, yaitu keseimbangan antara tiga unsur kehidupan:

  • Buana Nyungcung (alam atas) tempat Sang Hyang Kersa bersemayam,
  • Buana Panca Tengah (dunia manusia), dan
  • Buana Larang (alam bawah).

Manusia hidup di Buana Panca Tengah dengan tanggung jawab menjaga keseimbangan antara dunia atas dan dunia bawah.

Baca juga: Teori Out of Sundaland oleh Stephen Oppenheimer: Asal Usul Peradaban Dunia dari Nusantara

Warisan Sunda Wiwitan dalam Kehidupan Modern

Walaupun kini sebagian besar masyarakat Sunda memeluk agama-agama besar seperti Islam dan Kristen, nilai-nilai Sunda Wiwitan tetap hidup dalam budaya, kesenian, dan filosofi hidup orang Sunda.

Ungkapan seperti “Sabilulungan” (kerjasama), “Someah Hade Ka Semah” (ramah terhadap tamu), dan “Nyaur kudu diukur, nyabda kudu diungang” (berkata harus bijak) adalah refleksi ajaran moral Sunda Wiwitan yang menekankan keseimbangan dan keharmonisan.

Di beberapa wilayah seperti Kanekes (Baduy), Kasepuhan Ciptagelar, dan Kampung Dukuh, ajaran Sunda Wiwitan masih dijalankan secara murni. Mereka hidup dengan prinsip sederhana, tidak berlebihan, dan selalu menjaga keseimbangan dengan alam.

Sunda Wiwitan sebagai Identitas Budaya Nusantara

Dalam konteks yang lebih luas, Sunda Wiwitan bukan hanya kepercayaan lokal, melainkan warisan budaya dan spiritual yang mencerminkan jati diri bangsa Indonesia sebelum datangnya pengaruh luar.

Sunda Wiwitan mengajarkan bahwa manusia adalah bagian dari alam semesta, bukan penguasa tunggalnya. Prinsip ini sangat relevan di era modern ketika manusia dihadapkan pada krisis lingkungan, eksploitasi alam, dan kehilangan nilai-nilai spiritual.

Melalui pemahaman terhadap Sunda Wiwitan, sobat Cianjur bisa melihat bahwa nenek moyang bangsa ini sudah memiliki konsep ekologis dan moral yang tinggi. Mereka memahami pentingnya keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam jauh sebelum dunia modern memperkenalkan istilah “sustainable living” atau “pembangunan berkelanjutan”.

 

Tags: agama lokal Nusantaraajaran kearifan lokalajaran Sunda Wiwitananimisme dan dinamismeasal usul Sunda WiwitanBaduy Kanekesbudaya pra-sejarah Nusantarabudaya Sunda kunofilosofi hidup SundaGunung Padang Cianjurhubungan manusia dan alamKampung NagaKasepuhan Ciptagelarkearifan lokal Sundakepercayaan asli Nusantarakepercayaan asli Sundakepercayaan leluhur Sundakepercayaan pra-Hindukepercayaan tradisional Indonesiamasyarakat adat SundaSang Hyang Kersasejarah pra-Hindu di Nusantarasejarah Sunda Wiwitansilih asih silih asah silih asuhsistem kepercayaan Sundasitus megalitikum Sundaspiritualitas SundaSunda WiwitanTri Tangtu di Buanawarisan budaya Sunda
Previous Post

Asal-Usul Istilah Sunda Besar dan Sunda Kecil Dalam Peta Sejarah Internasional

CIANJUR TERKINI

Ilustrasi Tol Cianjur Padalarang

Rencana Tol Bocimi – Cianjur – Padalarang Menelan Anggaran sekitar Rp7,7 triliun

October 16, 2025
Pendakian Gunung Gede dan Pangrango Ditutup Sementara Akibat Masalah Sampah

Pendakian Gunung Gede dan Pangrango Ditutup Sementara Akibat Masalah Sampah

October 13, 2025
rambu lalu lintas di tapal kuda cugenang cianjur

Hati-hati! Bahaya Di Balik Indahnya Jalur Cugenang – Cianjur

September 16, 2025
makanan khas cianjur

22 Makanan Khas Cianjur Yang Wajib Di Coba

September 9, 2025

CIANJUR.CO adalah website City Directory Kota Cianjur yang merangkum informasi dari berbagai destinasi wisata, penginapan, kuliner, hiburan, area publik, hingga ke gedung pendidikan dan perkantoran. Selain itu juga mengangkat berita ringan yang ada di kota Cianjur.

KONTAK KAMI

Jl. Raya Puncak, Cugenang, Cianjur. Jawa Barat – Indonesia.
0899-862-5050
[email protected]
www.cianjur.co

NAVIGASI

  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Siber
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
  • Kontak Kami
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Siber
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
  • Kontak Kami

© 2024 Cianjur.Co

No Result
View All Result
  • CIANJUR.CO
  • HOME
  • Berita
  • Travel
  • Kuliner
  • Sosok

© 2024 Cianjur.Co