CIANJUR.CO – Sebelum terjadi Gempa Cianjur Zaman Kolonial Tahun 1879, Cianjur pada abad ke-19 merupakan salah satu pusat administrasi penting di wilayah Priangan. Kota ini memiliki rumah-rumah permanen bergaya Eropa, fasilitas pemerintahan yang megah, serta pemukiman kolonial yang mencerminkan statusnya sebagai kota strategis di bawah kekuasaan Belanda.
Ketika Baron Van der Capellen menerima mandat dari London untuk mengambil kembali pemerintahan Hindia Belanda pada 1819 pasca-penyerahan dari Inggris, Cianjur ditetapkan sebagai salah satu titik sentral pembangunan administrasi. Dari sinilah perjalanan sebuah kota kolonial yang elegan dimulai—hingga akhirnya hancur lebur ketika gempa Cianjur zaman kolonial pada 1879 mengguncang kota itu selama tiga hari berturut-turut.
Sebelum Gempa Cianjur Zaman Kolonial 1879
Sebelum bencana besar itu terjadi, Cianjur adalah kota yang sedang berada di puncak kejayaan kolonial. Para pejabat Eropa memilih wilayah ini sebagai tempat tinggal mereka karena iklimnya yang sejuk, udaranya bersih, serta posisinya yang strategis di antara Batavia dan Bandung.
Baca juga: Persiapan Di Rumah Jika Gempa Terjadi – Langkah dan Tips
Kota Sejuk Priangan yang Jadi Magnet Pejabat Eropa
Pada pertengahan abad ke-19, rumah-rumah batu mulai dibangun oleh pemerintah Belanda sebagai bagian dari proyek besar peradaban kolonial. Di tengah hamparan tanaman perkebunan dan bukit-bukit hijau, muncul bangunan megah dengan gaya arsitektur Eropa—dari kantor administrasi, sekolah kolonial, hingga kediaman resmi gubernur jenderal ketika ia berkunjung ke Priangan.
Banyak pensiunan pegawai pemerintah bahkan menetap di Cianjur di masa tuanya. Di dalam laporan penduduk tahun 1879, disebutkan bahwa total populasi Cianjur mencapai sekitar 26 ribu jiwa. Yang menarik, jumlah orang Belanda dan Eropa di kota ini tergolong tinggi untuk ukuran wilayah Priangan.
Para penjajah melihat Cianjur sebagai kota ideal: tenang, teratur, dan aman. Tapi ketenangan itu tidak bertahan lama.
Awal Mula Bencana Besar: Gempa Cianjur Zaman Kolonial 1879
Peristiwa gempa Cianjur zaman kolonial yang terjadi pada akhir Maret 1879 menjadi titik balik kehancuran kota yang sebelumnya digadang-gadang sebagai salah satu pusat administrasi Eropa di Priangan.

Tiga Hari Bumi Bergetar Tanpa Henti
Dalam catatan kolonial, disebutkan bahwa guncangan pertama terjadi pada 28 Maret 1879. Getarannya begitu kuat sehingga membuat rumah-rumah batu (yang selama ini dianggap kokoh) retak dalam hitungan detik.
Namun guncangan itu bukan satu-satunya. Selama tiga hari penuh, bumi terus bergetar. Pada 29 Maret, getaran-getaran susulan membuat warga tidak bisa tidur. Semua orang (baik orang Eropa maupun pribumi) berkumpul di tanah lapang karena takut atap rumah mereka roboh.
Puncak kepanikan muncul pada 30 Maret, ketika empat guncangan besar terjadi berurutan pada pukul 05.00, 07.45, 10.25, dan 11.30. Laporan kolonial menggambarkan suasana seperti hari kiamat kecil: tanah memantul, bangunan runtuh, dan jeritan terdengar di mana-mana.
Getaran paling hebat terasa di kawasan yang mengelilingi Gunung Gede, mulai dari Cipanas, Sindanglaya, Gadog, sampai wilayah Sukabumi. Daerah Afdeling Bandung, Sumedang, dan Limbangan pun tidak luput dari pengaruhnya. Bahkan kapal-kapal yang tengah bersandar di Onrust, Kepulauan Seribu, turut melaporkan adanya hentakan kuat yang berasal dari dasar laut. Seluruh Priangan seolah berubah menjadi panggung besar yang memperlihatkan amarah alam.
Baca juga: Hati-hati! Bahaya Di Balik Indahnya Jalur Cugenang – Cianjur
Dampak Langsung Gempa Cianjur Zaman Kolonial: Bangunan Kota Menjadi Reruntuhan
Ribuan Rumah Hancur, Mayoritas Milik Eropa
Menurut catatan PusGen Kementerian PUPR, 1.621 rumah rusak berat akibat gempa Cianjur zaman kolonial tersebut. Yang menarik, sebagian besar rumah yang hancur justru adalah rumah-rumah batu milik orang Eropa.
Dari jumlah itu:
- 24 rumah rata dengan tanah
- 13 orang tewas
- 12 orang luka-luka
Untuk ukuran populasi yang hanya 26 ribu jiwa, ini adalah angka yang besar.
Yang roboh bukan sekadar rumah bambu atau gubuk rakyat biasa. Sebaliknya, yang luluh lantak justru adalah simbol kejayaan kolonial: kantor telegrap, gedung pemerintahan, penjara, gudang garam, hingga bangunan pemadam kebakaran.
Catatan Pejabat Kolonial P.A. Bergsma
Dalam laporanya Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië (1882), Bergsma menjelaskan secara rinci situasi malam 28 Maret.
Ia menulis:
“Semua gedung pemerintahan mengalami kerusakan berat dan harus dikosongkan. Penjara tidak dapat dipulihkan lagi. Gudang garam dan bangunan pemadam kebakaran roboh seluruhnya.”
Deskripsi ini menunjukkan bahwa Cianjur mengalami kerusakan struktural besar-besaran. Infrastruktur penting menjadi tak dapat digunakan, membuat aktivitas pemerintahan lumpuh total.
Korban Jiwa dan Kerusakan Religius dalam Gempa Cianjur Zaman Kolonial
Runtuhnya Masjid Besar Cianjur
Salah satu tragedi paling memilukan dalam gempa Cianjur zaman kolonial 1879 adalah robohnya Masjid Besar Cianjur. Ketika bangunan itu ambruk, Kepala Panghulu serta beberapa jamaah kehilangan nyawa.

Kejadian ini mengguncang masyarakat pribumi karena masjid bukan sekadar bangunan ibadah, melainkan pusat kehidupan sosial-keagamaan.
Kerugian di Kalangan Pribumi dan Tionghoa
Selain gedung kolonial, banyak rumah orang Eropa dan Tionghoa juga hancur. Sebagian besar masyarakat pribumi kehilangan rumah, harta benda, dan ladang. Mereka harus tidur beratapkan langit selama berhari-hari karena tidak ada bangunan yang aman untuk ditinggali.
Baca juga: Daftar Bupati Cianjur dari Masa ke Masa Lengkap dan Terbaru
Suara Kolonial: Koran Belanda Mengabarkan Gempa Cianjur Zaman Kolonial
Algemeen Handelsblad dan Javasche Courant Melaporkan Kerusakan Besar
Koran-koran Belanda seperti Algemeen Handelsblad dan Javasche Courant menurunkan laporan panjang mengenai kehancuran Cianjur. Mereka menyebutkan:
- masjid roboh
- kepala panghulu tewas
- penjaga pribumi meninggal
- banyak bangunan tidak dapat digunakan lagi
Narasi media kolonial menggambarkan betapa besarnya dampak gempa Cianjur zaman kolonial, hingga berita tersebut dianggap penting untuk dikabarkan di negeri Belanda.
Tanda-Tanda Alam Sebelum Gempa Cianjur Zaman Kolonial 1879
Suara Gemuruh dan Aktivitas Gunung Gede
Beberapa minggu sebelum bencana, warga sebenarnya sudah mendengar suara gemuruh dari dalam tanah. Gunung Gede juga sempat mengeluarkan abu dan asap belerang. Banyak orang mengira aktivitas vulkanik ini sudah cukup melepaskan tekanan bawah tanah sehingga ancaman gempa kecil.
Namun prediksi itu salah besar.
Informasi Keliru tentang Jembatan Cisokan
Salah satu kabar simpang siur yang tersebar adalah robohnya Jembatan Cisokan, sebuah jembatan penting yang baru dibangun setahun sebelumnya. Setelah diperiksa, ternyata jembatan itu hanya mengalami retak, bukan ambruk. Namun kabar-kabar semacam ini memperburuk kepanikan warga.
Baca juga: Potensi Gempa Bumi Sesar Lembang dan Kerusakan Yang Ditimbulkan
Perubahan Sosial Akibat Gempa Cianjur Zaman Kolonial
Warga Eropa yang Terpaksa Tinggal di Tenda
Pejabat dan warga Eropa yang terbiasa hidup nyaman mendadak tidur di tenda darurat. Rumah-rumah batu yang selama ini mereka banggakan ternyata tidak mampu menahan guncangan.
Sementara pribumi yang kehilangan rumah hanya bisa pasrah, menunggu bantuan dari pemerintah kolonial yang waktu itu lebih fokus pada penyelamatan bangunan administrasi.
Kerugian Kalangan Bawah yang Tak Tercatat
Sebagian besar laporan kolonial hanya mencatat kerusakan bangunan resmi, rumah orang Eropa, atau kantor pemerintahan. Kerugian masyarakat kecil jarang dituliskan, padahal dampaknya jauh lebih berat bagi kehidupan mereka.
Dampak Jangka Panjang Gempa Cianjur Zaman Kolonial
Kehilangan Status Kota Administratif
Peristiwa ini memperkuat keputusan pemerintah kolonial untuk memindahkan pusat administrasi Priangan dari Cianjur ke Bandung. Sejak 1860-an, Bandung memang telah dipromosikan sebagai kota masa depan, dan gempa besar 1879 menjadi pemicu percepatan perubahan itu.
Cianjur perlahan kehilangan pamor sebagai kota strategis.
Bandung Naik Daun Setelah 1884
Ketika jalur kereta api Batavia–Bandung resmi dibuka pada 1884, Bandung resmi menjadi pusat pemerintahan baru di Priangan. Mobilitas pejabat, komoditas perkebunan, dan angkatan kolonial menjadi lebih mudah.
Cianjur yang porak-poranda akibat gempa Cianjur zaman kolonial semakin kehilangan posisi administratifnya.
Memori Kolektif Masyarakat terhadap Gempa Cianjur Zaman Kolonial
Luka yang Tetap Diingat Turun-Temurun
Bagi masyarakat Cianjur, gempa 1879 bukan hanya bencana fisik, tetapi juga tragedi sosial-religius. Runtuhnya masjid dan wafatnya kepala panghulu menjadi kisah yang diceritakan lintas generasi.
Pengingat Rapuhnya Kota Kolonial
Gempa itu membuktikan bahwa bangunan megah kolonial pun rapuh di hadapan kekuatan alam. Cianjur yang semula dijadikan simbol kemajuan Eropa di Priangan berubah menjadi puing hanya dalam tiga hari.
Pesan Para Leluhur Tentang Gempa Yang Kerap Terjadi di Cianjur
Cianjur memiliki sejarah panjang terkait gempa bumi yang sering terjadi sejak zaman para leluhur. Para sesepuh dan nenek moyang sudah mewariskan cerita secara turun-temurun bahwa wilayah ini memang berada pada kondisi tanah yang labil dan kerap mengalami guncangan.
Bukti kesadaran itu terlihat dari gaya bangunan lama yang masih dapat ditemukan di berbagai desa pedalaman, terutama rumah panggung yang dibuat lebih lentur dan mampu mengikuti pergerakan tanah sehingga tidak mudah runtuh saat gempa terjadi. Tradisi arsitektur tersebut menunjukkan betapa leluhur sudah lebih dulu mengenal prinsip mitigasi bencana melalui bentuk bangunan.
Pengetahuan lokal tersebut pada dasarnya menjadi peringatan dini agar masyarakat selalu waspada dan memahami karakter alam tempat mereka tinggal. Oleh karena itu, ada baiknya warga Cianjur membangun rumah dengan mempertimbangkan kondisi tanah gembur khas wilayah ini, menggunakan struktur bangunan yang lebih kokoh, fleksibel, serta mengikuti standar konstruksi tahan gempa.
Dengan memadukan kearifan lokal dan teknologi modern, masyarakat dapat meminimalkan risiko kerusakan serta melindungi keselamatan keluarga ketika bencana terjadi. Upaya ini bukan hanya bentuk kesiapsiagaan, tetapi juga wujud penghormatan terhadap pesan para sesepuh yang telah memahami dinamika alam Cianjur sejak dulu.




