CIANJUR.CO – Nama Bandara Internasional Husein Sastranegara di Bandung ternyata diambil dari nama seorang pejuang asal Cianjur. Sosok tersebut bukan sekadar perintis penerbangan Indonesia, tetapi juga simbol keberanian generasi muda yang berjuang mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia.
Asal Usul dan Masa Kecil Husein Sastranegara
Husein Sastranegara lahir di Cilaku, Cianjur, Jawa Barat pada 20 Januari 1919. Ia berasal dari keluarga bangsawan Priangan yang dikenal cerdas dan berpendidikan. Ayahnya, Raden Demang Ishak Sastranegara, merupakan pejabat pemerintahan Hindia Belanda yang pernah menjabat sebagai Wedana Ujung Berung dan Patih Tasikmalaya.
Ibunya, Rd. Katjih Lasmingroem, adalah putri seorang onder-collecteur di Cicalengka. Dari keluarga terpandang inilah, Husein kecil mendapatkan pendidikan dan nilai-nilai disiplin yang kelak membentuk karakter pejuang sejati.
Pendidikan dan Cita-cita Awal Husein Sastranegara
Sejak kecil, Husein dikenal tekun dan haus ilmu. Ia menempuh pendidikan di Europese Lagere School (ELS) di Bandung, lalu melanjutkan ke Hogere Burger School (HBS) di Bandung dan Jakarta.
Tidak berhenti di situ, Husein diterima di Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS) yang kini dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun, karena minatnya yang tinggi terhadap dunia penerbangan, ia memilih jalur lain yang lebih menantang: menjadi seorang penerbang militer.
Baca juga: 22 Makanan Khas Cianjur Yang Wajib Di Coba
Awal Karier di Dunia Penerbangan
Pada tahun 1939, Husein mendaftar di Sekolah Penerbang Militer Belanda di Kalijati, Subang. Dari sepuluh siswa pribumi yang diterima, hanya lima yang berhasil mendapatkan brevet penerbang, dan Husein termasuk di antaranya.
Ia memperoleh lisensi Kleine Militaire Brevet (KMB), sebuah lisensi penerbang pesawat bermesin tunggal. Keberhasilan ini menjadikannya salah satu pribumi pertama yang mampu menembus sekolah penerbang militer pada masa penjajahan Belanda — sebuah prestasi luar biasa untuk pemuda Cianjur di masa itu.
Selain Husein, terdapat empat nama lain yang ikut dalam kelompok tersebut, yakni Sambodja Hurip, Sulistiyo, Sujono, dan Ignatius Adisutjipto. Ketika akan melanjutkan pelatihan penerbang tingkat lanjut, Husein bersama Sulistiyo dan Sujono tidak berhasil menyelesaikannya. Ketiganya hanya memperoleh KMB (Kleine Militaire Brevet), yaitu lisensi untuk menerbangkan pesawat bermesin tunggal. Sementara itu, Sambodja Hurip dan Ignatius Adisutjipto berhasil meraih GMB (Groote Militaire Brevet), lisensi untuk menerbangkan pesawat bermesin ganda.
Kegagalan tersebut membuat Husein memilih jalur karier baru. Pada tahun 1941, ia meninggalkan dunia penerbangan dan melanjutkan pendidikan di Sekolah Inspektur Polisi di Sukabumi. Ketika Jepang menduduki Indonesia, meskipun belum menyelesaikan pendidikannya, Husein sudah dipercaya menjabat sebagai Inspektur Polisi di Sukabumi dan sempat dipindahtugaskan ke wilayah Sukanagara, Cianjur.
Saat masa revolusi kemerdekaan, Husein sempat bergabung dengan BKR (Badan Keamanan Rakyat) di Bogor dan Bandung. Namun, panggilan jiwa sebagai penerbang membuatnya kembali ke dunia aviasi. Ia kemudian dipanggil oleh KSAU Suryadi Suryadarma untuk membantu mempertahankan Lapangan Terbang Andir di Bandung.
Baca juga: Rumah Abah Jajang 2025: Semangat Ekowisata Yang Semakin Tumbuh
Menjadi Polisi Sebelum Revolusi
Sebelum terjun sepenuhnya ke dunia militer udara, Husein sempat berkarier di kepolisian. Ia menempuh pendidikan di Sekolah Inspektur Polisi Sukabumi pada tahun 1941 dan kemudian diangkat menjadi Inspektur Polisi.
Penugasan pertamanya berada di Sukabumi, lalu dipindahkan ke Sukanagara, Cianjur. Meskipun karier kepolisian berjalan baik, semangat patriotisme dalam dirinya mendorong Husein untuk kembali ke dunia penerbangan saat bangsa ini memproklamasikan kemerdekaannya.
Kiprah di Masa Revolusi Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Husein segera bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) Penerbangan, cikal bakal TNI Angkatan Udara (TNI AU).
Ia bekerja di bawah pimpinan Suryadi Suryadarma, tokoh penting perintis AURI. Salah satu tugas pentingnya adalah mengamankan Lapangan Terbang Andir di Bandung, yang kemudian menjadi Pangkalan Udara Husein Sastranegara.
Di masa revolusi ini, fasilitas penerbangan sangat terbatas. Namun semangat Husein dan rekan-rekannya tak pernah surut. Mereka mengoperasikan pesawat-pesawat bekas Jepang yang sudah tua, memperbaikinya dengan alat seadanya, dan menerbangkannya untuk kepentingan operasi militer, logistik, dan komunikasi antarwilayah.
Beberapa catatan penting penerbangan Husein antara lain:
- 21 Mei 1946: Terbang dari Yogyakarta ke Gorda, Serang, menggunakan pesawat Cureng.
- 10 Juni 1946: Terbang ke Tasikmalaya untuk meresmikan Lapangan Udara Cibeureum.
- 23 Juli 1946: Melakukan penerbangan ke Banten menggunakan pesawat pembom Diponegoro 1.
Kiprahnya menjadi bukti nyata bahwa peran penerbang Indonesia sangat penting dalam menjaga kedaulatan udara pasca kemerdekaan.
Tragedi di Langit Yogyakarta
Pada 23 Juli 1946, Husein Sastranegara yang saat itu berpangkat Opsir Udara II bersama Kadet Udara Wim Prayitno melakukan penerbangan menggunakan pesawat Cureng dengan rute Maguwo–Gorda (Banten)–Karangendah (Sumatra Selatan)–Maguwo.
Beberapa minggu kemudian, tepatnya pada 27 Agustus 1946, pesawat yang diterbangkan oleh Ignatius Adisutjipto mengalami kecelakaan di wilayah Cipatujah, Tasikmalaya. Saat itu, pesawat tersebut sedang dalam perjalanan kembali dari Branti, Lampung menuju Maguwo, Yogyakarta. Akibat cuaca buruk di kawasan selatan Jawa Barat, Adisutjipto mencoba melakukan pendaratan darurat, namun pesawat menabrak pohon kelapa hingga terbalik. Adisutjipto berhasil selamat, tetapi Opsir Udara II Tarsono Rujito mengalami luka berat dan akhirnya meninggal dunia
Sebulan kemudian, tepatya Pada 26 September 1946, Husein tengah melakukan uji terbang (test flight) pesawat “Cukiu” di langit Gowongan Lor, Yogyakarta. Pesawat tersebut rencananya akan digunakan untuk mengantar Perdana Menteri Sutan Sjahrir ke Malang.
Sayangnya, pesawat mengalami kerusakan mesin di udara dan jatuh, menewaskan Husein Sastranegara bersama teknisi Rukidi.
Kabar gugurnya Husein mengguncang seluruh jajaran Angkatan Udara muda Indonesia. Ia dikenal sebagai sosok pemberani, teliti, dan penuh semangat dalam setiap penerbangan. Karena jasanya, Husein dianugerahi kenaikan pangkat anumerta menjadi Komodor Muda Udara (setara Kolonel Udara).
Penghargaan dan Warisan Husein Sastranegara
Sebagai bentuk penghormatan, pemerintah Indonesia pada 17 Agustus 1952 meresmikan perubahan nama Lapangan Terbang Andir Bandung menjadi Pangkalan Udara Husein Sastranegara. Hal ini juga Berdasarkan Keputusan Kasau No. 76 Tahun 1952. Kini, nama itu juga digunakan untuk Bandara Internasional Husein Sastranegara, yang menjadi gerbang utama udara ke Kota Bandung dan Jawa Barat.
Selain itu:
- Di Yogyakarta, lokasi jatuhnya pesawat di Gowongan Lor akan diabadikan menjadi monumen perjuangan Husein Sastranegara.
- Di lingkungan TNI AU, terdapat Pojok Heritage Lanud Husein Sastranegara, yang menyimpan dokumentasi sejarah perjuangan sang pahlawan dan satuannya.
- Ia juga diakui sebagai salah satu perintis TNI AU yang membuka jalan bagi lahirnya generasi penerbang Indonesia modern.
Inspirasi untuk Generasi Muda
Kisah hidup Husein Sastranegara menyampaikan pesan kuat bagi sobat Cianjur dan generasi muda Indonesia: bahwa perjuangan tidak selalu dilakukan dengan senjata, tetapi juga dengan dedikasi, keahlian, dan semangat pengabdian.
Dari tanah Cianjur, ia menembus langit Indonesia, membuktikan bahwa cinta tanah air dapat diwujudkan lewat keberanian menembus batas kemampuan diri. Namanya kini menjadi simbol kebanggaan, bukan hanya bagi masyarakat Cianjur, tetapi bagi seluruh bangsa.
Husein Sastranegara bukan hanya nama di sebuah bandara. Ia adalah bagian dari sejarah perjuangan Indonesia yang patut dikenang dan diteladani. Dari Cianjur ke Bandung, dari bumi ke langit — pengorbanannya menjadi penanda bahwa kemerdekaan Indonesia juga diraih melalui keberanian para penerbang muda yang siap mengorbankan segalanya untuk negeri ini.
Referensi:





