CIANJUR.CO – Di wilayah Banyumas terutama di sebelah barat Sungai Logawa dan Mengaji banyak desa yang menggunakan kosa kata bahasa Sunda dan termasuk daerah dengan awalan Ci yang artinya air atau tempat.
Untuk contoh toponimi tempat atau desa-desa berawalan Ci antara lain Desa Cilongok, Cikawung, Ciberung, Cibangkong, Cingebul, Cikakak, Cihonje, Cilangkap.
Bahasa Sunda pernah ada di beberapa desa di Banyumas, Jawa Tengah. Sebelum terbaginya menjadi wilayah administratif, beberapa desa masih berbahasa Sunda sebagai bahasa percakapan sehari-hari contohnya warga di Grumbul.
Baca juga: Mengenal Suku Baduy : Jejak Tradisi yang Tetap Lestari di Tengah Modernitas
Salah satunya yang berada di Dusun Cijurig yang berada di Desa Dermaji, Kecamatan Lumbir, Kabupaten Banyumas. Namun kini bahasa sehari-hari sudah berbahasa Jawa Pangiyongan (Ngapak). Ci memiliki arti air atau tempat, sedangkan Jurig berarti hantu atau dedemit dalam istilah bahasa Sunda.

Selain dusun Cijurig, di desa Dermaji, juga banyak dusun lain dengan menggunakan istilah khas Sunda. Di antaranya, Citunggul, Cibrewek, Cireang, Cimencos, Ciposing, dan lainnya.
Kepala Desa Dermaji, pada saat itu dijabat oleh Bayu Setyo Nugroho yang merupakan orang asli kelahiran desa Dermaji mengingat-ingat, kosakata bahasa Sunda pun banyak digunakan saat itu. Sayang, perlahan orang-orang yang mewariskan penuturan Sunda semakin beranjak tua, dan akhirnya meninggal dunia.
Adapun generasi selanjutnya, dijejali dengan kenyataan bahwa bahasa lokal adalah bahasa Jawa. Karena Bahasa Jawa diajarkan di sekolah-sekolah, sejak SD hingga menengah atas. Akhirnya, perlahan bahasa Sunda pun punah di desa itu.
Saat ini, yang tertinggal hanyalah nama-nama tempat yang menunjukkan bahwa wilayah ini sempat menjadi tempat berkembangnya budaya Pasundan.
Pakar Toponimi yang juga menjadi Guru Besar Linguistik Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof DR Cece Sobarna mengatakan, berdasar riset yang telah dilakukannya, Dermaji adalah salah satu desa penutur bahasa Sunda di Banyumas.
Bahkan, sebagian penduduknya yang kini telah lanjut usia masih fasih bahasa Sunda. Sayangnya, generasi sesudahnya tidak lagi mengerti bahasa Sunda.
Dia menilai kepunahan bahasa Sunda di Jawa Tengah, juga disebabkan keharusan bahasa Jawa sebagai bahasa lokal daerah. Karenanya, Perda akan berguna untuk melindungi bahasa Sunda di Jawa Tengah sebagai salah satu kekayaan lokal.

“Karena belajar dari kasus di sini, di Dermaji itu dulu tidak diajarkan bahasa Sunda. Jadi lama-lama hilang kan. Jadi untuk mencegah kepunahan bahasa secara luas,” beliau menerangkan dalam sebuah acara workshop Toponimi di desa Dermaji yang diliput oleh liputan6.com pada 2019 silam.
Cece mengemukakan, keberadaan bahasa Sunda di Jawa Tengah juga menunjukkan bahwa jejak budaya pasundan tumbuh dan berkembang pada masa lalu. Wilayah administratif kini tak lagi bisa menjadi acuan untuk mengajarkan sebuah budaya atau bahasa.
Penyeragaman pelajaran di sekolah-sekolah dikhawatirkan akan mempercepat kepunahan bahasa Sunda. Kepunahan penutur sebuah bahasa, menurut dia, adalah bencana kemanusiaan.
“Di Kabupaten Cilacap, Daeyuhluhur, itu murni berbahasa Sunda. Memang sudah diajarkan di sana. Tapi di kecamatan-kecamatan lain yang juga penduduknya berbahasa Sunda, belum,” dia mengungkapkan.
Menurut Cece, di Jawa tengah ada tiga kabupaten yang sebagian warganya bertutur dalam bahasa Sunda. Tiga kabupaten itu yakni, Cilacap, Banyumas, dan Brebes.
Namun, serupa dengan di Desa Dermaji, penutur bahasa Sunda yang tersebar di tiga kabupaten ini juga terancam punah. Karenanya, ia mengusulkan agar Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Bahasa Sunda di Jawa Tengah.
Perda itu akan menjadi payung hukum untuk melindungi bahasa Sunda yang kini sudah mengalami gejala kepunahan. Berdasar riset yang ia lakukan, penutur bahasa Sunda masih cukup banyak dijumpai di wilayah ini.
“Saya ke gubernur baru menyurati. Tapi belum ada respons. Coba lah diakomodasi, ya melalui Perda. Karena selama ini kan, Sunda dan Banyumasan. Tapi kan ada Sunda juga di situ. Nah, dengan adanya perda itu, gejala kepunahan bahasa bisa diantisipasi,” lanjutnya menerangkan.
Penutur Bahasa Sunda Brebes Tinggal 14 Persen
Gejala kepunahan penutur bahasa yang hidup bukan di wilayah administratifnya juga terekam dari riset yang dilakukan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Siti Junawaroh di Brebes, Jawa Tengah. Ia meneliti sikap penutur bahasa Sunda di kabupaten paling barat sisi utara Jawa Tengah ini.
Hasil mengejutkan diperoleh dari penelitian ini. Ternyata, sebagian penutur bahasa Sunda malu, atau lebih tepatnya tak percaya diri menggunakan bahasa Sunda jika berhadapan dengan orang di luar lingkungannya.
Pengguna Bahasa Sunda di Kabupaten Brebes juga semakin menyusut. Kini, satu-satunya kecamatan yang mayoritas warganya masih menggunakan bahasa Sunda hanya Kecamatan Salem.
Siti mengatakan riset sikap penutur bahasa Sunda di Kabupaten Brebes menunjukkan tren positif lemah. Artinya, pengguna bahasa Sunda tetap menggunakan bahasa tersebut, namun sudah merasa malu jika menggunakan bahasa Sunda di kalangan umum.
Menurut dia, bahasa Sunda kini cenderung hanya digunakan sebagai bahasa sehari-hari di lingkungan keluarga atau berkomunikasi dengan tetangga. Bahasa ini sudah sangat jarang digunakan di masyarakat umum, terlebih lembaga pendidikan, perusahaan, maupun kantor pemerintahan.
“Sudah tidak digunakan lagi di sekolah-sekolah, di kantor kecamatan atau kantor pemerintahan lainnya,” kata Siti.
Dia menerangkan, penutur bahasa Sunda di Brebes sekitar 14 persen dari keseluruhan jumlah penduduk Brebes. Pusat penutur bahasa Sunda adalah Kecamatan Salem.
“Di kecamatan lainnya sudah mulai jarang,” dia mengungkapkan.
‘Sunda Corner’ di Museum Naladipa Dermaji Banyumas.
Menurut dia, kini warga lebih percaya diri menggunakan bahasa Indonesia. Ini terlepas dari penggunaan bahasa Jawa yang memang masih mayoritas di Kabupaten Brebes.
“Riset saya di Brebes ini seperti mengumpulkan remahan-remahan. Nanti akan dilakukan juga penelitian di Cilacap. Semoga sudah bisa menunjukkan hasil utuh,” imbuhnya.
Terkait perlindungan bahasa Sunda, terobosan menarik dilakukan oleh Pemerintah Desa Dermaji, Lumbir, Banyumas. Pemdes bertekad melindungi bahasa Sunda sebagai salah satu kekayaan budaya desanya.
“Kita launching Sunda Corner. Jadi sehubungan dengan Desa Dermaji ini, pada masa yang lalu, pernah menjadi bahasa tutur, masyarakat di sini,” ucap Bayu Setyo Nugroho, Kepala Desa Dermaji.
Di Sunda Corner tersebut, bakal ditempatkan peta desa dengan nama-nama grumbul atau tempat berbahasa Sunda. Kemudian, nama-nama itu akan dipasang Q-R Code sehingga ketika dipindai pengunjung bisa langsung membaca asal-usul atau sejarah penamaan tempat ini.
“Dan itu diperkuat oleh riset Profesor Cece Sobarna, bahwa nama-nama itu mengandung bahasa Sunda. Dan ketika itu dikuatkan, maka akan memilki informasi yang bernilai sejarah,” dia menerangkan.
Menurut Bayu, bahasa Sunda punah karena anak-anak tidak lagi bertutur dengan bahasa Sunda. Di sekolah pun yang diajarkan adalah bahasa Jawa. Akhirnya, bahasa Sunda benar-benar hilang dari Desa Dermaji.
Untuk mengenalkan bahasa Sunda ke anak-anak dan generasi muda, Museum Naladipa juga menyediakan berbagai bahan bacaan tentang bahasa Sunda, atau buku berbahasa Sunda. Dengan begitu, generasi muda di Dermaji tidak lupa sejarahnya sendiri.